A.1 Dasar Hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
- UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN UU NO 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
- PP NO.XX TAHUN 2000
- KEP. MEN.KEU NO. XX/KMK.04/2000
A.2 Pengertian Akuntansi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah bea yang dikenakan pada setiap pemindahan hak termasuk hibah wasiat atas harta tetapdan hak-hak kebendaan atas tanah yang pemindahan haknya dilakukan dengan akta. Menurut peraturan undang-undang BPHTB bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak, sedangkan pengertian perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Akuntansi dipakai oleh perusahaan untuk mencatat pengeluaran perusahaan dalam membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Proses pencatatan pengeluaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ini sama sederhanyanya dengan Pajak Bumi dan Bangunan dan lebih sederhana dibandingkan dengan pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai. Namun Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ini dicatat ketika perusahaan memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan atau pada saat melunasi BPHTB ini.
Menurut undang-undang PPh disebutkan bahwa pajak merupakan salah satu pengeluaran yang dapat mengurangi penghasilan bruto kecuali pajak penghasilan. Oleh karena itu pengeluaran ini akan dicatat oleh perusahaan sebagai berikut :
Biaya Perolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan xxx
Kas xxx
(Mencatat pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
Biasanya pembayaran BPHTB ini bersamaan dengan pembelian atau penjualan Tanah dan atau bangunan. Saat itu perusahaan akan mencatat:
Tanah/Bangunan xxx
Biaya Perolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan xxx
Kas xxx
(Mencatat pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
B. Objek BPHTB
Objek BPHTB menurut pasal 2 UU No 21 Tahun 1997 yaitu perolehan hak atas tanah atau/dan bangunan dimana perolehan hak ini bisa dalam hal pemindahan hak dan pemberian hak baru. Beberapa sebab terjadinya perolehan hak tersebut dapat dijelaskan berikut ini:
1. Perolehan hak dalam istilah pemindahan hak terjadi karena:
- Jual Beli
- Tukar Menukar
- Hibah
- Hibah Wasiat
- Waris
- Pemasukan dalam perseroan atau Badan Hukum lainnnya
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
- Penunjukan pembeli dalam lelang
- Putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
- Penggabungan Usaha
- Peleburan usaha
- Pemekaran Usaha
- Hadiah
2. Perolehan hak dalam istilah pemberian hak baru terjadi karena :
- Kelanjutan pelepasan hak
- Diluar pelepasan hak
C. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB
Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut
4. Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
D. Tarif Pajak
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
E. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal:
1. Jual beli adalah harga transaksi
2. Tukar-menukar adalah nilai pasar
3. Hibah adalah nilai pasar
4. Hibah wasiat adalah nilai pasar
5. Waris adalah nilai pasar
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h.Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar
8. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar
9. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar
10. Penggabungan usaha adalah nilai pasar
11. Peleburan usaha adalah nilai pasar
12. Pemekaran usaha adalah nilai pasar
13. Hadiah adalah nilai pasar
14. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;
Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
F. Pengenaan BPHTB
Ada beberapa kondisi dimana seorang wajib pajak harus dikenakan BPHTB diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang
2. Pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:
• 0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas)
• 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.
G. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Ditetapkan Secara Regional Paling Banyak
Berikut ini adalah beberapa nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) yang dapat mengurangi NPOP suatu objek pajak tertentu sebagai berikut:
1. Rp. 49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dalam hal perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana
2. Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dalam hal perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam dalam rangka program peningkatan sertifikasi tanah untuk memperkuat penjaminan kredit bagi usaha Mikro dan kecil
3. Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami
4. Paling banyak Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dalam hal selain yang disebutkan di atas.
H. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang
Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
1. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
2. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
4. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
5. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
6. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
7. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang
8. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
9. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
10. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
11. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
12. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan di tandatanganinya akta
13. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
14. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
15. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
I. Tempat Pajak Terutang Adalah Di Wilayah Kabupaten, Kota, Atau Propinsi Yang Meliputi Letak Tanah Dan Bangunan
Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/ BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).
J. Cara Penghitungan BPHTB
Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;
BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)
Contoh
1. Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)
= 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).
2. Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/ istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta
= 5 % x ( Rp. 40) juta
= Rp. 2 juta .
Catat yang dibuat atas transaksi di atas adalah:
Biaya Perolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan 2 Juta
Kas 2 Juta
(Mencatat pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
3. Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta
= Rp. 2,5 juta.
Catat yang dibuat atas transaksi di atas adalah:
Biaya Perolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan 2,5 Juta
Kas 2,5 Juta
(Mencatat pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
4. Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar